Monday, January 23, 2012

IMAM SYAFI’I rahimahullah NGALAP BERKAH DI KUBURAN IMAM ABU HANIFAH rahimahullah ??

MUQODDIMAH

Sengketa lahan di area pemakaman Mbah Priok alias Habib Hasan bin Muhammad al Haddad, Koja, Jakarta Utara, Rabu (14/4), berubah menjadi pertikaian berdarah. Lebih dari seratus orang, baik dari warga maupun petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polisi mengalami luka-luka.

Mbah Priok dikenal sebagai penyebar ajaran agama Islam di tanah Batavia, pada abad ke-18. Sosoknya begitu dihormati, sehingga kerap kali umat Islam berziarah ke makamnya. Rasa hormat warga terhadap sosok karismatik Mbah Priok laksana bensin dan percikan api yang mudah terbakar apabila tokoh yang mereka hormati direndahkan.

Demikian sekilas berita yang hangat baru-baru ini terjadi. Kita semua menyayangkan aksi itu terjadi. Tragedi itu harus diambil pelajaran agar jangan sampai terulang kembali dalam sejarah Indonesia. Caranya adalah dengan melakukan pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat dan para tokoh.

Dari tragedi tersebut terdapat pelajaran yang sangat penting sekali, yakni bahwasannya sedemikian kuatnya sikap berlebih-lebihan mayoritas kaum muslimin kepada kuburan yang dikeramatkan, sehingga mereka rela mengorbankan jiwa guna mempertahankannya. Bagaimanakah sebenarnya hukum ‘ngalap’ berkah dengan kuburan?! Inilah yang akan kita bahas dalam kajian kita melalui sebuah kisah tak nyata tentang Imam Syafi’i rahimahullah.

TEKS KISAH

Konon, diceritakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan: “Saya ngalap berkah dengan Abu Hanifah rahimahullah. Aku mendatangi kuburannya setiap hari. Apabila aku ada hajat, maka aku pergi ke kuburannya, sholat dua roka’at dan berdo’a di sisi kuburan Abu Hanifah rahimahullah, kemudian tak lama dari itu Alloh ‘azza wajalla mengabulkan do’aku”.


TAKHRIJ DAN DERAJAT KISAH

BATIL,Kisah ini dicantumkan oleh al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 1/123 dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrohim dari Ali bin Maimun dari asy-Syafi’i. Riwayat ini adalah lemah, bahkan batil, karena Umar bin Ishaq tidak dikenal dan tidak disebutkan dalam kitab-kita;b perowi hadits.[1]
 
Kisah ini adalah kedustaan yang amat nyata. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ini adalah kedustaan yang sangat nyata bagi orang yang memiliki ilmu hadits… Orang yang menukil kisah ini hanyalah orang yang sedikit ilmu dan agamanya.”[2] Ibnu Qoyyim rahimahullah juga berkata: “Kisah ini termasuk kedustaan yang sangat nyata.”[3] Dalam kitab Tab’id Syaithon dijelaskan: “Adapun cerita yang dinukil dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwa beliau biasa pergi ke kuburan Abu Hanifah rahimahullah, maka itu adalah kisah dusta yang amat nyata.”[4] Maka janganlah engkau dengarkan apa yang dikatakan oleh al-Kautsari bahwa sanad kisah ini adalah shohih[5], karena ini adalah termasuk kesalahannya.

Bukti-Bukti Kebatilan Kisah

Beberapa bukti yang menguatkan kedustaan kisah ini adalah sebagai berikut.
  1. Tatkala imam Syafi’i rahimahullah datang ke Baghdad, di sana tidak ada kuburan yang biasa didatangi untuk berdo’a.
  2. Imam Syafi’i rahimahullah telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, Mesir, kuburan-kuburan para Nabi, sahabat dan tabi’in dimana mereka lebih utama daripada Abu Hanifah rahimahullah. Lantas, mengapa beliau hanya pergi ke kuburan Abu Hanifah rahimahullah saja?
  3. Dalam kitabnya al-Umm 1/278, Imam Syafi’i rahimahullah telah menegaskan bahwa beliau membenci pengagungan kubur karena khawatir fitnah dan kesesatan. Maksud beliau dengan pengagungan yaitu sholat dan berdo’a di sisinya. Apakah mungkin beliau menyelisihi ucapannya sendiri?![6]
  4. Hal yang menguatkan batilnya kisah ini adalah pengingkaran Imam Abu Hanifah rahimahullah terhadap meminta-minta kepada selain Alloh subhanahu wa ta’aala. Dalam kitab ad-Durr al-Mukhtar dan kitab-kitab Hanafiyyah sering dinukil ucapan Imam Abu Hanifah rahimahullah: “Saya membenci seorang meminta kecuali hanya kepada Alloh ‘azza wajalla”. “Tidak boleh bagi seorang pun meminta kepada selain Alloh ‘azza wajalla akan tetapi justru kepada-Nya saja.” Dan tidak ragu lagi bahwa dalam masalah tawassul pendapat Imam Syafi’i rahimahullah adalah sama dengan pendapat Abu Hanifah rahimahullah. Lantas, bagaimana mungkin beliau bertawassul kepadanya padahal ia tahu bahwa Abu Hanifah rahimahullah membenci dan mengharamkannya? Sama sekali tidak masuk akal. Bahkan hal itu akan membuat murka Imam Abu Hanifah rahimahullah. Semua itu adalah mustahil, kedua Imam ini berlepas diri dari kisah dusta tersebut. Namun, apa yang kita katakan kepada para pendusta?! Hanya kepada Alloh ‘azza wajalla kita mengadu. Ya Alloh, kami berlepas diri dari apa yang mereka perbuat.”[7]
Memahami Masalah Tabarruk

Kisah ini dijadikan dalil oleh sebagian kalangan untuk melegalkan ngalap berkah yang tidak disyari’atkan[8] seperti ngalap berkah kepada kuburan-kuburan orang sholih. Oleh karenanya, masalah tabarruk akan kami singgung secara singkat.

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa sesungguhnya tabarruk atau yang biasa disebut dengan ngalap berkah ada dua macam:

1.Tabarruk masyru’, yaitu tabarruk dengan hal-hal yang disyari’atkan. Seperti al-Qur’an, air zam-zam, bulan Romadhon dan sebagainya. Akan tetapi tidak boleh ber tabarruk dengan hal-hal tersebut kecuali sesuai syari’at dan dengan niat bahwa hal itu hanyalah sebab, sedangkan yang memberikan barokah adalah Alloh subhanahu wa ta’aala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:

الْبَرَكَةُ مِنَ اللهِ
Barokah itu (bersumber) dari Alloh subhanahu wa ta’aala.”[9]

2.Tabarruk Mamnu’, yaitu tabarruk dengan hal-hal yang tidak disyari’atkan. Hukumnya tidak boleh, seperti tabarruk dengan pohon, batu ajaib (!), kuburan, dzat kyai dan lain sebagainya.[10]

Yakinlah bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan menolak madhorot kecuali hanya Alloh ‘azza wajalla semata. Semua itu adalah khurofat jahiliyyah yang diberantas oleh agama Islam. Oleh karena itu, simaklah ucapan Amirul mukminin Umar bin Khoththob radhiyallahu ‘anhu tatkala berkata ketika mencium hajar aswad:

إِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Saya tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan bahaya atau manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam menciummu maka saya tidak menciummu.”[11]

Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata tentang atsar di atas: “Ucapan ini merupakan pokok dan landasan yang sangat agung dalam masalah ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam sekalipun tidak mengetahui alasannya, serta meninggalkan ajaran jahiliyyah berupa pengagungan terhadap patung dan batu. Karena memang tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya kecuali Alloh ‘azza wajalla semata. Sedangkan batu tidak bisa memberikan manfaat, lain halnya dengan keyakinan kaum jahiliyyah terhadap patung-patung mereka.

Maka Umar radhiyallahu ‘anhu ingin memberantas anggapan keliru tersebut yang masih melekat dalam benak manusia.”[12] Jenis tabarruk ini telah diingkari secara keras oleh para ulama Syafi’iyyah. Menarik sekali dalam masalah ini apa yang telah dikisahkan bahwa tatkala ada berita kepada Imam Syafi’i rahimahullah, bahwa sebagian orang ada yang bertabarruk dengan peci Imam Malik rahimahullah, maka serta merta beliau mengingkari perbuatan itu.[13]

Imam Nawawi rahimahullah berkata:
وَمَنْ خَطَرَ بِبَالِهِ أَنَّ الْمَسْحَ بِالْيَدِ وَنَحْوِهِ أَبْلَغُ فِي الْبَرَكَةِ فَهُوَ مِنْ جَهَالَتِهِ وَغَفْلَتِهِ لِأَنَّ الْبَرَكَةَ إِنَّمَا هِيَ فِيْمَا وَافَقَ الشَّرْعَ وَكَيْفَ يَنْبَغِي الْفَضْلَ فِيْ مُخَالَفَةِ الصَّوَابِ؟
“Barangsiapa yang terbersit dalam hatinya, bahwa mengusap-usap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah, maka hal itu menunjukkan kejahilannya dan kelalaiannya. Karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syari’at. Bagaimanakah mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran?!.”[14]
Al-Ghozali juga berkata:
فَإِنَّ الْمَسَّ وَالتَّقْبِيْلَ لِلْمَشَاهِدِ عَادَةُ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
“Sesungguhnya mengusap-usap dan menciumi kuburan merupakan adapt istiadat kaum Yahudi dan Nasrani.”[15]
Demikianlah ketegasan para ulama Syafi’iyyah.[16] Bandingkanlah hal ini dengan fakta yang ada pada kaum muslimin sekarang!! Berikut ini dua kisah nyata tentang fakta di lapangan sekarang, kemudian saya serahkan komentar dan hukumnya kepada para pembaca sekalian.

Pertama: Kisah yang dibawakan oleh akhuna (saudara kami), al-Ustadz Abdulloh Zaen: “Ketika penulis diberi kesempatan ke kota Martapura, sebagian kaum muslimin di sana dengan penuh keprihatinan bercerita: “Kira-kira 1 bulan setelah guru Ijay[17] dimakamkan, nisan di atas kuburannya hampir ambruk. Pasalnya setiap hari puluhan atau ratusan orang berziarah berebut menciumi dan mengusap-usap nisan tersebut!!” Hanya kepada Alloh ‘azza wajalla kita mengadu kejahilan sebagian kaum muslimin tersebut.[18]

Kedua: Kisah yang dibawakan oleh al-Ustadz Muhammad Arifin Badri: “Saya pernah mendengar penuturan salah seorang kawan saya sendiri (dan kisah ini adalah kisah yang ia alami secara langsung). Kawan saya berasal dari salah satu pondok pesantren di Kota Jombang Jawa Timur. Pada suatu hari ia diajak oleh bibinya berkunjung ke daerah Nganjuk –Jawa Timur untuk mengunjungi seorang wali. Setibanya di rumah wali itu, dia dipersilahkan masuk ke ruang tamu laki-laki, sedangkan bibinya dipersilahkan masuk ke ruang tamu wanita. Sepulang dari rumah wali itu, bibinya berkata: “Wah, tadi di ruang wanita, saya menyaksikan beberapa wali, di antaranya ada wali laki-laki yang keluar menemui kita dengan telanjang bulat dan tidak sehelai benang pun menempel di badannya. Setelah berada di tengah-tengah ruangan, wali telanjang itu disodori sebatang rokok oleh sebagian pelayannya. Ia pun mulai mengisap rokok, dan baru beberapa isapan rokoknya dicampakkan ke lantai. Melihat puntung rokok tergeletak di lantai itu, ibu-ibu yang sedang berada di ruang tamu berebut memungutnya. Setelah seorang ibu berhasil mendapatkannya ia langsung memerintahkan anaknya yang masih kecil untuk ganti mengisap puntung rokok tersebut. Alasannya “agar mendapatkan keberkahan sang wali dan menjadi anak pandai.”[19]

Demikianlah pembahasan singkat tentang masalah ini. Semoga bermanfaat bagi semuanya. Amiin.[20]



Sumber : http://www.abiubaidah.com
_____________________________________________________________________________________
[1] Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 1/78 oleh al-Albani.
[2] Iqtidho’ Shirothil Mustaqim 2/685-686.
[3] Ighotsatul Lahfan 1/399.
[4]  At-Tawashul Ila Haqiqoti Tawassul hlm. 339-340.
[5] Maqolat al-Kautsari hlm. 381.
[6] Lihat Iqtidho’ Shirothil Mustaqim 2/686 oleh Ibnu Taimiyyah dan at-Tabarruk hlm. 345 oleh Dr. Nashir al-Judai’.
[7]  Qoshoshun Laa Tatsbutu 2/85-86 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman hafidzahullahu ta’ala.
[8] Persis dengan kisah ini juga kisah tentang tabarruknya Imam Syafi’i rahimahullah dengan bajunya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kisah ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal hlm. 609-610. Kisah ini adalah kisah yang tidak shohih. (Lihat Siyar A’lam Nubala’ 12/587-588 oleh adz-Dzahabi, at-Tabarruk hlm. 386-387 oleh Dr. Nashir al-Juda’i, Qoshoshun Laa Tatsbutu 4/85-90 oleh Yusuf al-‘Atiq).
[9]  HR. Bukhori 3579.
[10] Lihat masalah tabarruk secara luas dan bagus dalam kitab “at-Tabarruk Anwa’uhu wa Ahkamuhu” oleh DR. Nashir bin Abdirrohman al-Judai’.
[11] HR. Bukhori 1597 dan Muslim 1270.
[12] Al-I’lam bi Fawa’id Umdatil Ahkam 6/190. Lihat komentar indah para ulama madzhab Syafi’i lainnya tentang atsar ini dalam Juhud Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhidil Ibadah oleh DR. Abdulloh al-‘Anquri hlm. 582-584.
[13]  Lihat Manaqib Syafi’I 1/508 oleh al-Baihaqi dan Syarh Arba’in al-‘Ajluniyyah hlm. 262-263 oleh Syaikh Jamaluddin al-Qosimi.
[14]  Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 8/275.
[15] Ihya’ Ulumuddin 1/254.
[16] Lihat secara luas upaya ulama madzhab Syafi’iyyah dalam menjelaskan tauhid ibadah dan memberantas syirik dalam Juhud Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhid Ibadah oleh Dr. Abdulloh al-‘Unquri, Bayanu Syirki ‘Inda Ulama Syafi’iyyah oleh Dr. Abdurrohman al-Khumais, Imam Syafi’i Menggugat Syirik oleh akhuna al-Fadhil al-Ustadz Abdulloh Zaen.
[17]  Dia bernama Muhammad Zaini bin Abdul Ghoni, salah seorang yang sangat ditokohkan di Kalimantan. Meninggal pada 05 Rojab 1426 H/10 Agustus 2005. Di antara keanehannya dia pernah mengaku mimpi bertemu Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam dan Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam sujud kepadanya!!! Allohul Musta’an.
[18]  Imam Syafi’i Menggugat Syirik hlm. 115-116.
[19] Dzikir ‘Ala Tasawwuf  hlm. 45.
[20] Pembahasan ini dinukil dari bahan buku yang sedang disusun oleh penulis dengan judul “Manhaj Salafi Imam Syafi’i.” Semoga Alloh ta’ala memudahkan penyempurnaannya dengan rohmat-Nya. Amiin.

Sumber Aqidah Imam Asy-Syafi'i

Segala puji bagi Alloh yang membangkitkan para ulama pada setiap zaman di saat kekosongan para rosul, mereka menunjuki orang yang tersesat jalan, sabar menghadapi rintangan, menghidupkan orang mati dengan al-Qur‘an, dan menyalakan cahaya Alloh kepada orang-orang yang lelap dalam kebutaan. Betapa banyak korban Iblis yang mereka sembuhkan dan betapa banyak orang tersesat kebingungan yang mereka selamatkan!

Alangkah besarnya jasa mereka terhadap manusia, tetapi alangkah jeleknya balasan manusia kepada mereka! Mereka menepis segala penyelewengan orang-orang yang berlebih-lebihan, kedustaan pembela kebatilan, dan penafsiran orang-orang jahil yang kebingungan — yang melepaskan tali fitnah dan mengibarkan bendera kebid’ahan, mereka berselisih dalam al-Qur‘an, menyelisihi kandungan al-Qur‘an, dan bersatu untuk meninggalkan al-Qur‘an, mereka berkata tentang Alloh dan kitab-Nya tanpa dasar ilmu, menyebarkan syubhat untuk menipu manusia yang dungu. Kita berlindung kepada Alloh dari fitnah yang menyesatkan.[1]

Di antara deretan para ulama tersebut—insya Alloh—adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah, yang namanya tidak asing lagi bagi kita semua. Alloh telah mengangkat derajat beliau dan mengharumkan nama beliau sampai detik ini.

Imam Syafi’i rahimahullah termasuk ulama pembaharu agama yang menyeru manusia untuk kembali kepada al-Qur‘an dan Sunnah serta meninggalkan ilmu kalam. Oleh karenanya, dalam setiap karya beliau bertaburan ayat-ayat dan hadits-hadits dengan ditunjang oleh dalil-dalil akal dan bantahan terhadap setiap yang menyelisihinya.

Nah, termasuk nikmat Alloh kepada penulis pada saat ini adalah menyumbangkan salah satu tulisan sederhana tentang ilmu Imam Syafi’i rahimahullah yang kita berdo’a kepada Alloh agar menjadikan tulisan ini ikhlas karena mengharapkan pahala Alloh dan bermanfaat bagi semua.

Pentingnya Pembahasan

Ada beberapa faktor yang mendorong hati kami untuk menulis pembahasan ini, minimal ada empat alasan penting:
  1. Imam Syafi’i adalah seorang imam madzhab empat yang pendapat-pendapatnya menjadi pedoman banyak umat Islam, di antaranya adalah negeri kita Indonesia ini yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i. Maka menjelaskan landasan-landasan agama Imam Syafi’i sangatlah penting sekali agar mereka mengetahuinya dan mencontohnya.
  2. Meluruskan klaim kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Syafi’i dalam fiqih, tetapi dalam aqidah berpaham Asy’ari, karena ini termasuk kontradiksi yang amat nyata, sebab Imam Syafi’i tidaklah berpaham Asy’ariyyah, bahkan beliau adalah seorang salafi yang mengikuti dalil, baik dalam masalah aqidah dan lainnya.
  3. Banyak orang menganggap bahwa manhaj salaf hanyalah dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, atau al-Albani dan Ibnu Baz. Maka penjelasan ini membantah dugaan tersebut karena semua imam panutan umat—termasuk Imam Syafi’i—mereka satu aqidah dan manhaj.
  4. Membantu saudara-saudara kami para da’i dan para penuntut ilmu ketika berdakwah di masyarakat hendaknya sering menukil ucapan Imam Syafi’i kepada mereka, sebab termasuk cara hikmah dalam berdakwah adalah mengutip perkataan ulama Ahli Sunnah yang dikenal baik di masyarakat luas, serta menghindari penyebutan nama ulama tertentu yang mereka fobia dengan nama-nama tersebut.[2] Maka dengan terkumpulnya ucapan-ucapan Imam Syafi’i dalam tulisan semacam ini, diharapkan dapat memudahkan saudara-saudara kami menerapkan metode hikmah ini.

Sumber Aqidah Menurut Imam Syafi’i

Sesungguhnya pedoman hukum dalam beragama adalah al-Qur‘an, hadits shohih, dan ijma’. Tentang hujjahnya al-Qur‘an dan hadits, Alloh berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur‘an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Imam Abdul Aziz al-Kinani rahimahullah berkata,
“Tidak ada perselisihan di kalangan orang yang beriman dan berilmu bahwa maksud mengembalikan kepada Alloh adalah kepada kitab-Nya dan maksud mengembalikan kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah kepada sunnah beliau. Tidak ada yang meragukan hal ini kecuali orang-orang yang menyimpang dan tersesat. Penafsiran seperti yang kami sebutkan tadi telah dinukil dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan sejumlah para imam yang berilmu. Semoga Alloh merahmati mereka semua.”[3]

Adapun dalil bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) merupakan hujjah adalah firman Alloh[4]:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾

Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’ [4]: 115)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لَا يَجْمَعُ اللّٰهَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا

“Sesungguhnya Alloh tidak akan menjadikan umatku bersepakat dalam kesesatan.” [5]
Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i rahimahullah juga sebagaimana beliau tegaskan dalam banyak ucapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
وَلَمْ يَجْعَلِ اللّٰهُ لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ أَنْ يَقُوْلَ إِلَّا مِنْ جِهَةِ عِلْمٍ مَضَى قَبْلَهُ وَجِهَةُ الْعِلْمِ بَعْدُ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ وَالآثَارُ وَمَا وَصَفْتُ مِنَ الْقِيَاسِ عَلَيْهَا
“Alloh tidak memberikan kesempatan bagi seorang pun selain Rosululloh n\ untuk berbicara soal agama kecuali berdasarkan ilmu yang telah ada sebelumnya, yaitu Kitab, Sunnah, ijma’, atsar sahabat, dan qiyas (analogi) yang telah kujelaskan maksudnya.” [6]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْجِدُّ، وَمَا سِوَاهُمَا فَهُوَ هَذَيَانُ

“Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur‘an dan Sunnah maka dia sungguh-sungguh. Adapun selain keduanya maka dia mengigau.” [7]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

فَقَدْ جَعَلَ اللّٰهُ الْحَقَّ فِيْ كِتَابِهِ، ثُمَّ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَّ

“Sungguh Alloh menjadikan al-haq (kebenaran) berada di dalam al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya.” [8]

Imam Syafi’i Mendahulukan Dalil Daripada Akal

Termasuk pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah. Namun, patokannya adalah dalil yang bersumber dari al-Qur‘an dan Sunnah. Adapun akal hanyalah alat untuk memahami.

Maka amatlah salah jika manusia menjadikan akal sebagai hakim terhadap dalil al-Qur‘an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan, karena akal manusia terbatas. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata:

إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas.” [9]

Imam Syafi’i dan Ilmu Kalam/Filsafat

Disebut ilmu kalam karena ilmu ini hanyalah dibangun di atas ucapan, pendapat, dan logika semata, tanpa dibangun di atas dalil al-Qur‘an dan Sunnah yang shohih. Ilmu kalam sangat banyak dipengaruhi oleh ilmu manthiq dan filsafat Yunani yang muncul berabad-abad sebelum datangnya Islam.

Islam tidak membutuhkan ilmu ini sama sekali karena ilmu ini hanyalah berisi kejahilan, kebingungan, kesesatan, dan penyimpangan.[10] Oleh karena itu, para ulama telah mengingatkan kepada kita agar waspada dan menjauhi ilmu ini sejauh-jauhnya.[11] Di antara deretan para ulama tersebut adalah Imam Syafi’i.[12]

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar (sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih.”[13]

Ucapan Imam Syafi’i begitu banyak, di antaranya:

الْعِلْمُ بِالْكَلَامِ جَهْلٌ

“Mempelajari ilmu kalam adalah kejahilan (kebodohan).” [14]

حُكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْجَرِيْدِ، وَيُحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ: هٰذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ

“Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian diarak keliling kampung seraya dikatakan pada khayalak: ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur‘an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.’ ” [15]
Imam as-Sam’ani rahimahullah berkata — setelah membawakan ucapan-ucapan seperti di atas: “Inilah ucapan Imam Syafi’i tentang celaan ilmu kalam dan anjuran untuk mengikuti Sunnah. Dialah imam yang tidak diperdebatkan dan tidak terkalahkan.” [16]


Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
www.abiubaidah.com
 
 
 

[1] Ar-Rodd ’ala al-Jahmiyyah wa Zanadiqoh hlm. 85 oleh Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Dr. Abdurrohman ’Umairoh.

[2] Lihat al-Hatstsu ’ala al-Mawaddah wal I’tilaf hlm. 21–23 oleh Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi dan 14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah hlm. 56 oleh akhuna al-Ustadz Abdullah Zaen, M.A.

[3] Al-Haidah wal I’tidzarr fir Roddi ’ala Man Qola Bikholqil Qur‘an hlm. 32, tahqiq Dr. Ali al-Faqihi

[4] Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i tentang hujjahnya ijma’ ulama, sebagaimana dalam kisah yang panjang. (Lihat Manaqib Imam Syafi’i hlm. 83 al-Aburri, Thobaqot Syafi’iyyah 2/243 Ibnu Subki, Siyar A’lam Nubala‘ 3/3295 adz-Dzahabi)

[5] HR. al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/116, al-Baihaqi dalam Asma‘ wa Shifat: 702. Hadits ini memiliki penguat yang banyak. Al-Hafizh as-Sakhowi rahimahullah berkata dalam al-Maqoshidul Hasanah hlm. 460: “Kesimpulannya, hadits ini masyhur matan-nya, memiliki sanad yang banyak, dan penguat yang banyak juga.” Syaikh al-Albani juga menshohihkan dalam ash-Shohihah: 1331 dan Shohihul Jami’: 1848

[6] Ar-Risalah hlm. 508

[7] Tawali Ta‘sis hlm. 110 Ibnu Hajar

[8] Al-Umm 7/493

[9] Adab Syafi’i hlm. 271 Ibnu Abi Hatim, Tawali Ta‘sis hlm. 134 Ibnu Hajar.

[10] Lihat tulisan al-Ustadz Armen Halim Naro “Filsafat Islam Konspirasi Keji” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon Edisi 2 Tahun 6 rubrik Aqidah.

[11] Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan tiga ala
san di balik larangan ulama salaf terhadap mempelajari ilmu kalam: Pertama: Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan. Kedua: Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur‘an dan hadits serta ulama salaf. Ketiga: Merupakan sebab meninggalkan al-Qur‘an dan Sunnah. (Lihat Shonul Manthiq hlm. 15–33)

[12] Lihat peringatan para ulama tentang ilmu kalam dan ahli kalam secara panjang dalam kitab Dzammul Kalam wa Ahlihi oleh Imam al-Harowi dan Shounul Manthiq oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

[13] Mukhtashor al-Uluw hlm. 177

[14] Hilyatul Auliya‘ 9/111

[15] Manaqib Syafi’i 1/462 al-Baihaqi, Tawali Ta‘sis hlm. 111 Ibnu Hajar, Syarof Ashhabil Hadits hlm. 143 al-Khothib al-Baghdadi. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam Siyar A’lam Nubala‘ 3/3283: “Ucapan ini mungkin mutawatir dari Imam Syafi’i.”

[16] Al-Intishor li Ashhabil Hadits hlm. 8

Sunday, December 18, 2011

Kisah Taubatnya Tiga Wanita Syiah


Bismillahirrahmaanirrahiem, semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi dan Rasul termulia, junjungan kami Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung, kepada-Mu kami memohon pertolongan dan kepada-Mu kami bertawakkal. Engkaulah Yang Memulai dan Mengulangi, Ya Allah kami berlindung dari kejahatan perbuatan kami dan minta tolong kepada-Mu untuk selalu menaati-Mu, dan kepada-Mu lah kami bertawakkal atas setiap urusan kami.
Semenjak lahir, yang kutahu dari akidahku hanyalah ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait. Kami dahulu memohon pertolongan kepada mereka, bersumpah atas nama mereka dan kembali kepada mereka tiap menghadapi bencana. Aku dan kedua saudariku telah benar-benar meresapi akidah ini sejak kanak-kanak.
Kami memang berasal dari keluarga Syi’ah asli. Kami tidak mengenal tentang mazhab ahlussunnah wal jama’ah kecuali bahwa mereka adalah musuh-musuh ahlulbait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.Mereka lah yang merampas kekhalifahan dari tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi ThalibRadhiyallahu’anhu, dan merekalah yang membunuh Husain.
Akidah ini semakin tertanam kuat dalam diri kami lewat hari-hari “Tahrim”, yaitu hari berkabung atasahlul bait, demikian pula apa yang diucapkan oleh syaikh kami dalam perayaan Husainiyyah dan kaset-kaset ratapan yang memenuhi laciku.
Aku tak mengetahui tentang akidah mereka (ahlussunnah) sedikitpun. Semua yang kuketahui tentang mereka hanyalah bahwa mereka orang-orang munafik yang ingin menyudutkan ahlul bait yang mulia.
Faktor-faktor di atas sudah cukup untuk menyebabkan timbulnya kebencian yang mendalam terhadap penganut mazhab itu, mazhab ahlussunnah wal jama’ah.
Benar… Aku membenci mereka sebesar kecintaanku kepada para Imam. Aku membenci mereka sesuai dengan anggapan Syi’ah sebagai pihak yang terzhalimi.

Keterkejutan Pertama

Ketika itu Aku sedang duduk di sekolah dasar. Di sekolah aku mendengar penjelasan Bu Guru tentang mata pelajaran tauhid. Beliau berbicara tentang syirik, dan mengatakan bahwa menyeru selain Allah termasuk bentuk menyekutukan Allah. Contohnya seperti ketika seseorang berkata dalam doanya: “Hai Fulan, selamatkan Aku dari bencana… tolonglah Aku” lanjut Bu Guru. Maka kukatakan kepadanya: Bu, kami mengatakan “Ya Ali”, apakah itu juga termasuk syirik? Sejenak kulihat beliau terdiam… seluruh murid di sekolahku, dan sebagian besar guru-gurunya memang menganut mazhab Syi’ah… kemudian Bu Guru berkata dengan nada yakin: “Iya, itu syirik” kemudian langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku:
“Bukankah doa adalah ibadah?”
“Tidak tahu”, jawabku.
“Coba perhatikan, apa yang Allah katakan tentang doa berikut”, lanjutnya seraya membaca firman Allah:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Ghaafir: 60).
“Bukankah dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa berdoa adalah ibadah, lalu mengancam orang yang enggan dan takabbur terhadap ibadah tersebut dengan Neraka?” tanyanya.
Setelah mendengar pertanyaan tersebut, aku merasakan suatu kejanggalan… aku merasa kecewa… segudang perasaan menggelayuti benakku tanpa bisa kuungkapkan. Saat itu aku berangan-angan andaikan aku tak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Lalu kutatap dia untuk kedua kalinya… ia tetap tegar laksana gunung.
Waktu pulang kutunggu dengan penuh kesabaran, Aku berharap barangkali ayah dapat memberi solusi atas permasalahanku ini… maka sepulangku dari sekolah, kutanya ayahku tentang apa yang dikatakan oleh Bu Guru tadi.
Ayah serta merta mengatakan bahwa Bu Guru itu termasuk yang membenci Imam Ali. Ia mengatakan bahwa kami tidaklah menyembah Amirul Mukminin, kami tidak mengatakan bahwa dia adalah Allah sehingga Gurumu bisa menuduh kami telah berbuat syirik… jelas ayah.
Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban ayahku, sebab Bu Guru berdalil dengan firman Allah. Ayah lalu berusaha menjelaskan kepadaku kesalahan mazhab Sunni hingga kebencianku semakin bertambah, dan aku semakin yakin akan batilnya mazhab mereka.
Aku pun tetap memegangi mazhabku, mazhab Syi’ah; hingga adik perempuanku melanjutkan karirnya sebagai pegawai di Departemen Kesehatan.
Sekarang, biarlah adikku yang melanjutkan ceritanya…
Setelah masuk ke dunia kerja, aku berkenalan dengan seorang akhwat ahlussunnah wal jama’ah. Ia seorang akhwat yang multazimah (taat) dan berakhlak mulia. Ia disukai oleh semua golongan, baik Sunni maupun Syi’ah. Aku pun demikian mencintainya, dan berangan-angan andai saja dia bermazhab Syi’ah.
Saking cintanya, aku sampai berusaha agar jam kerjaku bertepatan dengan jam kerjanya, dan aku sering kali bicara lewat telepon dengannya usai jam kerja.
Ibu dan saudara-saudaraku tahu betapa erat kaitanku dengannya, sebab itu aku tak pernah berterus terang kepada mereka tentang akidah sahabatku ini, namun kukatakan kepada mereka bahwa dia seorang Syi’ah, tak lain agar mereka tidak mengganggu hubunganku dengannya.

Permulaan Hidayah

Hari ini, aku dan sahabatku berada pada shift yang sama. Kutanya dia: “Mengapa di sana ada Sunni dan Syi’ah, dan mengapa terjadi perpecahan ini?” Ia pun menjawab dengan lembut:
“Ukhti, sebelumnya maafkan aku atas apa yang akan kuucapkan… sebenarnya kalianlah yang memisahkan diri dari agama, kalian yang memisahkan diri dari Al Qur’an dan kalian yang memisahkan diri dari tauhid!!”
Kata-katanya terdengar laksana halilintar yang menembus hati dan pikiranku. Aku memang orang yang paling sedikit mempelajari mazhab di antara saudari-saudariku. Ia kemudian berkata:
“Tahukah kamu bahwa ulama-ulama kalian meyakini bahwa Al Qur’an telah dirubah-rubah, meyakini bahwa segala sesuatu ada di tangan Imam, mereka menyekutukan Allah, dan seterusnya…?” sembari menyebut sejumlah masalah yang kuharap agar ia diam karena aku tidak mempercayai semua itu.
Menjelang berakhirnya jam kerja, sahabatku mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya seraya mengatakan bahwa itu adalah tulisan saudaranya, berkenaan dengan haramnya berdoa kepada selain Allah. Kuambil lembaran-lembaran tersebut, dan dalam perjalanan pulang aku meraba-rabanya sambil merenungkan ucapan sahabatku tadi.
Aku masuk ke rumah dan kukunci pintu kamarku. Lalu mulailah kubaca tulisan tersebut. Memang, hal ini menarik perhatianku dan membuatku sering merenungkannya.
Pada hari berikutnya, sahabatku memberiku sebuah buku berjudul “Lillaah, tsumma littaariekh” (Karena Allah, kemudian karena sejarah). Sumpah demi Allah, berulang kali aku tersentak membaca apa yang tertulis di dalamnya. Inikah agama kita orang Syi’ah? Inikah keyakinan kita?!!
Sahabatku pun semakin akrab kepadaku. Ia menjelaskan hakikat banyak hal kepadaku. Ia mengatakan bahwa ahlussunnah mencintai Amirul Mukminin dan keluarganya.
Benar… aku pun beralih menganut mazhab ahlussunnah tanpa diketahui oleh seorang pun dari keluargaku. Sahabatku ini selalu menghubungiku lewat telepon. Bahkan saking seringnya, ia sempat berkenalan dengan kakak perempuanku.
Sekarang, biarlah kakakku yang melanjutkan ceritanya…
Aku mulai berkenalan dengan akhwat yang baik ini. Sungguh demi Allah, aku jadi cinta kepadanya karena demikian sering mendengar cerita adikku tentangnya. Maka begitu mendengar langsung kata-katanya, aku semakin cinta kepadanya…

Permulaan Hidayah

Hari itu, aku sedang membersihkan rumah dan adikku sedang bekerja di kantor. Aku menemukan sebuah buku bergambar yang berjudul: “Lillaah, tsumma littaariekh”.
Aku pun membukanya lalu membacanya… sungguh demi Allah, belum genap sepuluh halaman, aku merasa lemas dan tak sanggup merampungkan tugasku membersihkan rumah. Coba bayangkan, dalam sekejap, akidah yang ditanamkan kepadaku selama lebih dari 20 tahun hancur lebur seketika.
Aku menunggu-nunggu kembalinya adikku dari kantornya. Lalu kutanya dia: “Buku apa ini?”
“Itu pemberian salah seorang suster di rumah sakit”, jawabnya.
“Kau sudah membacanya?” tanyaku.
“Iya, aku sudah membacanya dan aku yakin bahwa mazhab kita keliru”, jawabnya.
“Bagaimana denganmu?” tanyanya.
“Baru beberapa halaman” jawabku.
“Bagaimana pendapatmu tentangnya?” tukasnya.
“Kurasa ini semua dusta, sebab kalau benar berarti kita betul-betul sesat dong”, sahutku.
“Mengapa tidak kita tanyakan saja isinya kepada Syaikh?” pintaku.
“Wah, ide bagus” katanya.
Buku itu lantas kukirimkan kepada Syaikh melalui adik laki-lakiku. Kuminta agar ia menanyakan kepada Syaikh apakah yang tertulis di dalamnya benar, ataukah sekedar kebohongan dan omong kosong?
Adikku mendatangi Syaikh tersebut dan memberinya buku itu. Maka Syaikh bertanya kepadanya: “Dari mana kau dapat buku ini?”
“Itu pemberian salah seorang suster kepada kakakku” jawabnya.
“Biarlah kubaca dulu” kata Syaikh, sembari aku berharap dalam hati agar kelak ia mengatakan bahwa semuanya merupakan kebohongan atas kaum Syi’ah. Akan tetapi, jauh panggang dari api! Kebatilan pastilah akan sirna…
Aku terus menunggu jawaban dari Syaikh selama sepuluh hari. Harapanku tetap sama, barang kali aku mendapatkan sesuatu darinya yang melegakan hati.
Namun selama sepuluh hari tadi, aku telah mengalami banyak perubahan. Kini sahabat adikku sering berbicara panjang lebar denganku lewat telepon, bahkan ia seakan lupa kalau mulanya ia ingin bicara dengan adikku. Kami bicara panjang lebar tentang berabagai masalah.
Pernah suatu ketika ia menanyaiku: “Apa kau puas dengan apa yang kita amalkan sebagai orang Syi’ah selama ini?”. Aku mengira bahwa dia adalah Syi’ah, dan dia tahu akan hal itu…
“Kurasa apa kita berada di atas jalan yang benar”, jawabku.
“Lalu apa pendapatmu terhadap buku milik adikmu?” tukasnya. Akupun terdiam sejenak… lalu kataku:
“Buku itu telah kuberikan ke salah seorang Syaikh agar ia menjelaskan hakikat buku itu sebenarnya”.
“Kurasa ia takkan memberimu jawaban yang bermanfaat, aku telah membacanya sebelummu berulang kali dan kuselidiki kebenaran isinya… ternyata apa yang dikandungnya memang sebuah kebenaran yang pahit”, jelasnya.
“Aku pun menjadi yakin bahwa apa yang kita yakini selama ini adalah batil” lanjutnya.
Kami terus berbincang lewat telepon dan sebagian besar perbincangan itu mengenai masalah tauhid, ibadah kepada Allah dan kepercayaan kaum Syi’ah yang keliru. Tiap hari bersamaan dengan kepulangan adikku dari kantor, ia menitipkan beberapa lembar brosur tentang akidah Syi’ah, dan selama itu aku berada dalam kebingungan…
Aku teringat kembali akan perkataan Bu Guru yang selama ini terlupakan. Kuutus adik lelakiku untuk menemui Syaikh dan meminta kembali kitab tersebut beserta bantahannya. Akan tetapi sumpah demi Allah, lagi-lagi Syaikh ini mengelak untuk bertemu dengan adikku. Padahal sebelumnya ia selalu mencari adikku, dan kini adikku yang justru menelponnya. Namun keluarga Syaikh mengatakan bahwa dia tidak ada, dan ketika adikku bertemu dengannya dalam acara Husainiyyah[1] dan menanyakan kitab tersebut; Syaikh hanya mengatakan: “Nanti”, demikian seterusnya selama dua bulan.
Selama itu, hubunganku dengan sahabat adikku lewat telepon semakin sering, dan di sela-selanya ia menjelaskan kepadaku bahwa dirinya seorang Sunni, alias ahlussunnah wal jama’ah. Dia berkata kepadaku:
“Jujur saja, apa yang membuat kalian membenci Ahlussunnah wal Jama’ah?”
Aku sempat ragu sejenak, namun kujawab: “Karena kebencian mereka terhadap Ahlulbait”.
Hai Ukhti, Ahlussunnah justeru mencintai mereka”, jawabnya.
Kemudian ia menerangkan panjang lebar tentang kecintaan Ahlussunnah terhadap seluruh keluarga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beda dengan Syi’ah Rafidhah yang justeru membenci sebagian ahlul bait seperti isteri-isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Benar, kini aku tahu tentang akidah Ahlussunnah wa Jama’ah dan aku mulai mencintai akidah yang sesuai dengan fitrah dan jauh dari sikap ghuluw (ekstrim)… jauh dari syirik… dan jauh dari kedustaan.
Kebenaran yang sesungguhnya mulai tampak bagiku, dan aku pun bingung apakah aku harus meninggalkan agama nenek moyang dan keluargaku? Ataukah meninggalkan agama yang murni, ridha Allah dan Jannah-Nya??
Ya, akhirnya kupilih yang kedua dan aku menjadi seorang ahlussunnah wal jama’ah. Aku kemudian menghubungi akhwat yang shalihah tadi dan kunyatakan kepadanya bahwa hari ini aku ‘terlahir kembali’.
Aku seorang Sunni, alias Ahlussunnah wal Jama’ah.
Akhwat tersebut mengucapkan takbir lewat telepon, maka seketika itu meleleh lah air mataku… air mata yang membersihkan sanubari dari peninggalan akidah Syi’ah yang sarat dengan syirik, bid’ah dan khurafat…
Demikianlah… dan tak lama setelah kami mendapat hidayah, adik kami yang paling kecil serta salah seorang sahabatku juga mendapat hidayah atas karunia Allah Subhanahu wa Ta’aala.
(Saudari-saudari kalian yang telah bertaubat)
[basweidan.wordpress.com & salafyunpad.wordpress.com dari www.fnoor.com/fn1024.htm]

[1] Ritual kaum Syi’ah dalam rangka memperingati syahidnya Imam Husain bin Ali Radhiyallohu’anhu.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons